Sabtu, 24 Juli 2010

Ujian usai, Haflah Imtihanpun dimulai

Setelah dilaksanakannya ujian pada hari Ahad, 28 Rajab 1431 (11 Juli 2010), sampai dengan hari Selasa, 8 Sya'ban 1431 (20 Juli 2010), akhirnya para murid merasa lega dapat menyelesaikan ujian dengan lancar tanpa adanya gangguan. Dan dimulailah rangkaian acara Haflah Intihail Imtihan pada hari Rabu, 9 Sya'ban 1431. Pada imtihan periode kali ini, jadwal lomba dipersingkat dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau pada tahun lalu pelaksanaan lomba berlangsung selama 6 hari, kali ini hanya 5 hari.

Pada hari pertama, lomba diisi oleh murid-murid tingkat TK (TPQ), berupa lomba mengeja sampai membaca ayat-ayat singkat Al Qur'an. Lomba ini dibagi dalam 5 tingkatan atau juz, mulai juz 1 hingga 5, dan dibagi dalam 5 kelompok, kelompok A hinnga E.

Pada hari kedua dan ketiga, murid-murid tingkat Ibtida'iyah (MI) ikut menyemarakkan lomba, dengan berbagai macam lomba dari Puisi, Pidato, Pantun berbahasa arab, hingga Qira'atul Kitab (membaca kitab beserta makna jawa, atau lebih dikenal dengan makna gandul). Lomba-lomba ini diikuti oleh seluruh murid tingkat Ibtidaiyah, dari kelas 1 hingga kelas 6.

Pada hari berikutnya adalah lomba yang paling ditunggu-tunggu para wali murid maupun penonton yang lain, yakni lomba cerdas cermat. Lomba yang diikuti murid-murid kelas 4, 5 dan 6 ini diadakan selama 2 hari, yaitu babak penyisihan pada hari pertama dan semi final dan final pada hari kedua.

Jumat, 02 April 2010

Biografi Singkat Imam Syafi'i

Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi'i atau Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (lahir di Gaza, Palestina, 150 H / 767 – wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.

Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.

Imam Syafi'i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.


Kelahiran dan kehidupan keluarga

Kelahiran

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Nasab

Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu 'anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi'ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda: “Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66). ”


Masa belajar

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi'ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi'ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya tulis

Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Sumber : http://id.wikipedia.org

Jumat, 12 Maret 2010

Kesederhanaan Hidup Imam al-Ghozaly

Dalam dunia Tasawuf, sosok Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali sudah mashur dan sudah begitu banyak kaum muslimin yang mengenalnya. Namanya hingga kini masih diabadikan sejarah berkat kecerdasan otak dan begitu luasnya akan ilmu pengetahuan yang beliau miliki, sampai-sampai karyanya yang sangat fenomenal “Ihya’ Ulumuddin” mendapat pengakuan dari salah satu ulama’, bahwa kitab tersebut adalah kitab terbaik setelah Al-Qur’an. Di mana kita tahu, di dalamnya beliau sangat kompleks dalam menjabarkan dan menerangkan kesederhanaan hidup yang sepatutnya dijalani seseorang demi menggapai ridlo dari Allah SWT. Sikap Waro’, Zuhud, Tawaddu’ , dan menjauhkan diri dari penyakit hati, serta konsep hidup lainnya yang bisa diterapkan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.


Salah satu konsep kesederhanaan hidup yang ditawarkan beliau dalam artikel kali ini adalah membuang jauh sifat Riya’ atau dalam bahasa jawanya biasa disebut pamer (menampakkan amal perbuatan karena ada tujuan selain Allah SWT). Riya’ salah satu perbuatan yang paling membahayakan yang bisa merusak amal seseorang, sampai-sampai dalam hadistnya Rosulallah menceritkan ''Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah SWT untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, 'Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?' Allah menjawab, 'Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.

Coba anda renungkan, betapa ruginya orang yang diceritakan nabi di atas, ia yang telah mengorbankan nyawanya dalam medan peperangan, tetapi apalah yang ia dapatkan, setetes darahpun yang ia tumpahkan dalam medan tempur tak bisa mengantarkannya ke surga dan ridlo Allah SWT. Inilah efek samping seseorang yang mengerjakan amal karena ingin mendapatkan kata-kata pujian atau sanjungan dari seseorang, amal yang ia lakukan tidak lagi bermuara kepada ridlo Allah SWT.

Sejenak kita melihat fenomena yang terjadi dewasa ini, banyak model-model orang yang mengerjakan suatu amaliyah supaya ia bisa dikatakan wah, dan mendapat stigma dari masyarakat bahwa ia seorang yang ahli ibadah. Mereka telah menyusun berbagai konsep dan trik agar ia betul-betul dikatakan orang hebat, ahli puasa, ahli ibadah, dan lain sebagainya. Mereka mengemasnya mulai dari mengenakan pakaian compang-camping lanyaknya orang gila supaya dikatakan bahwa ia orang sufi atau ahli tasawwuf, memanjangkan rambut serta kukunya, bahkan tak banyak dari mereka yang tidak mau mandi, karena ia menganggap dengan berpenampilan seperti itu, stigma baik dari masyarakat mudah ia peroleh. Ada lagi yang menampakkan bahwa ia seolah-olah orang yang suka sujud atau ahli sholat, hal ini dikuatkan dengan bekas sujud yang begitu jelas sekali terlihat di jidaknya. Entah apakah ia memang betul-betul ahli sujud atau bukan, yang pasti Allah maha melihat dan mengetahui apa yang kita kerjakan.

Kesemuanya itu menunjukkan bahwa orang zaman sekarang lebih senang apabila segala perbuatan baiknya atau ibadahnya diketahui banyak orang. Padahal agama telah menjelaskan, bahwa ibadah atau amaliyah yang baik itu adalah amaliyah yang tidak diketahui orang banyak, dan salah satu tanda bahwa seseorang betul-betul iklas dalam beribadah adalah lupa bahwa ia pernah melakukan satu amaliyah baik, atau dengan kata lain tidak pernah mengingat-ingat perbuatan baiknya, apalagi sampai mengobral amaliyahnya tersebut.

Imam Ghozali telah mengajarkan kepada kita, hendaknya kita hidup yang wajar-wajar saja, netral, dan apa adanya. Kita hidup jangan suka model-model, apalagi diperbudak kata “berpura-pura”. Pura-pura sebagai ahli tasawwuf atau seorang sufi, padahal kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan kelakuannya kaum sufi, pura-pura sebagai ahli ibadah, padahal dalam realitanya, ia masih senang mengoleksi banyak dosa, dan lain sebagainya. Kita kaya, kita orang miskin, pejabat, guru, tukang becak, petani, polisi, ataupun kyai, di hadapan Allah semuanya sama, yang membedakan hanyalah amal kita. Perlu kita ketahui, bahwa Allah SWT tidak melihat amal seseorang dari penampilan atau casingnya, akan tetapi Allah melihat hati mereka. Iklas adalah pekerjaan hati, dan hanya Allah saja yang mengetahui keiklasan hati seseorang. Sedangkan sombong, pamer, dan penyakit hati lainnya, hanya akan membawa si empunya pada satu kata, yakni “rugi”.

Kita hidup harus berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan, bahkan Allah menyuruh akan hal itu. Bukan malah sebaliknya, berlomba untuk mencari sanjungan atau ngoyok dalam mencari pujian dari seseorang. Perlu juga kita ketahui, bahwasannya para Auliya’illah atau para kekasih Allah tersebut tidak senang bila mendapatkan pujian dari seseorang, karena secara perlahan, pujian tersebut akan mengantarkan seseorang untuk bersikap kibir atau sombong dan merasa dirinyalah yang paling hebat. Mereka juga tidak senang apabila amaliyahnya kepada Allah diketahui banyak orang. Jika pada zaman sekarang ada seseorang yang memiliki sikap tidak sama dengan para Salafunah Sholeh atau para pendahulu kita, maka kiranya patut untuk dicurigai, jangan-jangan ia bukan Salafunah Sholeh akan tetapi Salafunas Sholeh.
(Sumber: www.salafiyah.org, situs resmi Pondok Pesantren Salafiyah Kebonsari Pasuruan